Pages

Kamis, 03 Oktober 2013

Bahaya Laten, Kawan Pragmatis!



Teman. Siapa di dunia ini yang tak pernah berteman? Saya rasa seluruh manusia di muka bumi ini pasti pernah merasakan sebuah pertemanan. Dari yang hanya say hai, lalu jadi intens untuk bertemu, setelah itu dijadikanlah tempat untuk mengungkapkan segala curahan hatinya, barulah beranjak menjadi sebuah persahabatn, yang bercita-cita persahabatannya akan selamanya, langgeng sampai tua nanti. Hal itu berangkat dari sebuah pertemanan.
Sejak kecil, pastilah kita sudah mulai memiliki teman, saat kecil teman kita hanya terbatas, hanya anak tetangga yang biasanya diajak untuk main petak umpet, atau main karet. Beranjak masuk ke Sekolah Dasar teman mulai bertambah lagi. Saya masih ingat, saat SD dulu, saya berteman mengikuti gaya pertemanan dari sinetron yang saya saksikan di telivisi. Membuat geng; berupa sekumpulan orang yang terdiri paling sedikiit tiga orang. Yayaya, saya pernah merasakan terlibat dalam sebuah geng. Bahkan pada saat itu, saya sendiri yang menjadi ketua geng. Awalnya memang indah, kompak, keren karena bisa mengikuti tren yang ada. Tapi lama-lama saya merasa ada tingkat kejenuhan juga pada saat itu. Entah karena masalah apa, akhirnya kami pun menjauh satu sama lain. Akhirnya saya pun hanya berteman dengan satu orang saja. Itu pun teman yang benar-benar nyaman bagi saya. Selang beberapa hari, kami pun mencoba berbaikan lagi. Tapi beberapa minggu kemudian kami berjauhan lagi, kalau bertemu hanya memasang wajah sinis. Fase itu terus saja terjadi secara berulang-ulang, sampai akhirnya kami pun tamat dari bangku Sekolah Dasar. Lalu setelah lulus? Kami berpisah, tidak pernah bercengkrama seperti saat SD lagi. Permusuhuan yang timbul pun jadi tidak ada, karena memang pertemuan kita yang tidak intens. Lama kelamaan, akhirnya kami pun saling sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sampai akhirnya bila bertemu, kami ibarat orang asing.
Setelah SD, saya melanjutkan lagi tentunya ke pendidikan yang lebih tinggi dari SD, yaitu SMP. Tapi saat itu saya tak diperkenankan untuk mengeyam bangku SMP, hanya diperbolehkan untuk merasakan bangku MTS, memang sederajat dengan SMP. Tapi bagi saya, yang saat itu sedang mengalami masa-masa labil tetap saja berbeda. MTS itu tak asik, kuno, dan nggak modern di mata saya saat itu.
Sama seperti ketika di SD, di MTS pun saya menemukan seorang teman. Teman yang bermula dari ketidaksengajaan, lalu berjabat tangan. Sampai lambat laun kami pun menjadi akrab. Ada yang berbeda dengan perasaan saya saat itu, karena saya rasa teman yang saya miliki saat itu adalah teman yang berbeda dari teman-teman yang pernah saya kenal sebelumnya. Kami memiliki banyak kesamaan, pokoknya klop deh! Kami duduk sebangku, pernah saling berkunjung ke rumah, memberikan hadiah sebagi simbol persahabatan. Tapi lagi-lagi saya menemukan titik kejenuhan. Saya pernah tidak berkomunikasi dengannya selama satu minggu. Karena saya seperti dimanfaatkan, dan dalam dirinya seperti ada yang ditutup-tutupi, seolah-olah ia secara perlahan-lahan sedang membohongi diri ini. Saya hanya tak percaya saja dengan cerita-ceritanya yang selalu bahagia, mendapatkan apa yang dia mau. Masa iya ada manusia seperti itu? Saya fikir itu hanya karangannya saja. Mungkin itu hanya pikiran kotor saya saja kali, yang saat itu masih terbilang labil, jadi belum bisa berfikir secara sempurna. Saya pun menyadari, hari-hari di sekolah dengan kesendirian itu ternyata tak asik. Saya pun kembali berteman baik dengannya, meski kadang-kadang masih suka menyimpan rasa sebal. Tapi perasaan itu selalu saya urungkan untuk diucapkan. Bisa-bisa semuanya jadi berantakan.
Tiga tahun kami bersama, sampai kahirnya pelepasan itu terjadi. Kami berpisah, tidak bisa bertemu setiap hari lagi. Awalnya komunikasi berlangsung dengan baik, tapi lama kelamaan, kami pun tenggelam dalam rutinitas yang kami lakoni.
Ini dia masa-masa dimana saya bisa menemukan arti teman yang sesungguhnya. Teman yang benar-benar melekat dalam diri saya. Bahkan saya menyadari kalau saya itu mencintai teman saya. Di masa putih abu ini, saya berteman dengan banyak orang-orang luar biasa. Saya bisa berkawan dengan orang-orang yang sangat baik, seluruhnya baik. Bahkan ia bisa membawa saya pada perubahan yang lebih baik. Indah bukan? Tapi sayang, kita tidak satu pemikiran. Biar begitu, teman tetaplah teman. Baru kali ini, saya merasa dihargai sebagai seorang teman. Dicintai dengan amat sangat tulus. Bahkan ia pun selalu mengelak bila saya mengucapkan terimakasih berkali-kali atas perbuatannya terhadap saya. Sampai akhirnya sebuah kesedihan itu muncul lagi. Kami dipisahkan pasca kelulusan. Ia bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Sementara aku? Menikmati apa yang telah aku dapatkan, dan bersyukur dengan hal ini. Lebih indah bukan? Masa putih abu ini, tak akan pernah terlupakan. Termasuk kawan saya yang satu itu. Saya sadar, ada rasa cinta yang melekat diantara kami berdua.
***
Kehidupan individualis rupanya bisa saya rasakan. Saya jadi sadar dan merasakan arti dari pragmatis itu sendiri, dan hal itu benar-benar terjadi! Pragmatis, mengambil manfaatnya saja, setelah dimiliki, pastilah ditinggal pergi. Ibarat pribahasa habis manis, sepah dibuang. Ironi bukan?
Sebut sajalah di kehidupan kampus. Saya benar-benar tertampar oleh sebuah arti kehidupan. Saya yang selalu berusaha memberikan yang terbaik kepada seorang kawan, ternyata tidak setimpal dengan balasan yang saya terima.
OK Fine. Kalau mereka butuh, saya selalu ada untuk mereka. Tapi mereka? Kemana mereka ketika saya butuh? Ini benar-benar prgamatis. Mungkin mereka akan memungkiri hal ini, tapi ini yang saya rasakan. Setelah mereka berhasil dengan apa yang di dapat, mereka pun akan pergi, acuh, dan tak peduli.
Baiklah, ternyata pertemanan itu tak ada yang sempurna. Pada dasarnya manusia itu mau berteman apabila bisa menguntungkan dirinya. Kalau sudah tak menghasilkan untung, untuk apa dipertahankan. Jangan juga terlalu percaya kepada teman. Ternyata dalam berteman sekalipun kita harus memakai sebuah rasa, yang bernama cinta. Supaya tak berujung pada hati yang merana.[]

Tidak ada komentar: