Teman. Siapa di dunia ini yang tak
pernah berteman? Saya rasa seluruh manusia di muka bumi ini pasti pernah
merasakan sebuah pertemanan. Dari yang hanya say hai, lalu jadi intens
untuk bertemu, setelah itu dijadikanlah tempat untuk mengungkapkan segala
curahan hatinya, barulah beranjak menjadi sebuah persahabatn, yang bercita-cita
persahabatannya akan selamanya, langgeng sampai tua nanti. Hal itu berangkat
dari sebuah pertemanan.
Sejak kecil, pastilah kita sudah mulai
memiliki teman, saat kecil teman kita hanya terbatas, hanya anak tetangga yang
biasanya diajak untuk main petak umpet, atau main karet. Beranjak masuk ke
Sekolah Dasar teman mulai bertambah lagi. Saya masih ingat, saat SD dulu, saya
berteman mengikuti gaya pertemanan dari sinetron yang saya saksikan di
telivisi. Membuat geng; berupa
sekumpulan orang yang terdiri paling sedikiit tiga orang. Yayaya, saya pernah
merasakan terlibat dalam sebuah geng.
Bahkan pada saat itu, saya sendiri yang menjadi ketua geng. Awalnya memang indah, kompak, keren karena bisa mengikuti tren yang ada. Tapi lama-lama saya
merasa ada tingkat kejenuhan juga pada saat itu. Entah karena masalah apa,
akhirnya kami pun menjauh satu sama lain. Akhirnya saya pun hanya berteman
dengan satu orang saja. Itu pun teman yang benar-benar nyaman bagi saya. Selang
beberapa hari, kami pun mencoba berbaikan lagi. Tapi beberapa minggu kemudian
kami berjauhan lagi, kalau bertemu hanya memasang wajah sinis. Fase itu terus
saja terjadi secara berulang-ulang, sampai akhirnya kami pun tamat dari bangku
Sekolah Dasar. Lalu setelah lulus? Kami berpisah, tidak pernah bercengkrama
seperti saat SD lagi. Permusuhuan yang timbul pun jadi tidak ada, karena memang
pertemuan kita yang tidak intens.
Lama kelamaan, akhirnya kami pun saling sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Sampai akhirnya bila bertemu, kami ibarat orang asing.
Setelah SD, saya melanjutkan lagi
tentunya ke pendidikan yang lebih tinggi dari SD, yaitu SMP. Tapi saat itu saya
tak diperkenankan untuk mengeyam bangku SMP, hanya diperbolehkan untuk
merasakan bangku MTS, memang sederajat dengan SMP. Tapi bagi saya, yang saat
itu sedang mengalami masa-masa labil tetap saja berbeda. MTS itu tak asik,
kuno, dan nggak modern di mata saya saat itu.
Sama seperti ketika di SD, di MTS pun
saya menemukan seorang teman. Teman yang bermula dari ketidaksengajaan, lalu
berjabat tangan. Sampai lambat laun kami pun menjadi akrab. Ada yang berbeda
dengan perasaan saya saat itu, karena saya rasa teman yang saya miliki saat itu
adalah teman yang berbeda dari teman-teman yang pernah saya kenal sebelumnya.
Kami memiliki banyak kesamaan, pokoknya klop deh! Kami duduk sebangku, pernah
saling berkunjung ke rumah, memberikan hadiah sebagi simbol persahabatan. Tapi
lagi-lagi saya menemukan titik kejenuhan. Saya pernah tidak berkomunikasi
dengannya selama satu minggu. Karena saya seperti dimanfaatkan, dan dalam
dirinya seperti ada yang ditutup-tutupi, seolah-olah ia secara perlahan-lahan
sedang membohongi diri ini. Saya hanya tak percaya saja dengan cerita-ceritanya
yang selalu bahagia, mendapatkan apa yang dia mau. Masa iya ada manusia seperti
itu? Saya fikir itu hanya karangannya saja. Mungkin itu hanya pikiran kotor
saya saja kali, yang saat itu masih terbilang labil, jadi belum bisa berfikir
secara sempurna. Saya pun menyadari, hari-hari di sekolah dengan kesendirian
itu ternyata tak asik. Saya pun kembali berteman baik dengannya, meski
kadang-kadang masih suka menyimpan rasa sebal. Tapi perasaan itu selalu saya
urungkan untuk diucapkan. Bisa-bisa semuanya jadi berantakan.
Tiga tahun kami bersama, sampai
kahirnya pelepasan itu terjadi. Kami berpisah, tidak bisa bertemu setiap hari
lagi. Awalnya komunikasi berlangsung dengan baik, tapi lama kelamaan, kami pun
tenggelam dalam rutinitas yang kami lakoni.
Ini dia masa-masa dimana saya bisa
menemukan arti teman yang sesungguhnya. Teman yang benar-benar melekat dalam
diri saya. Bahkan saya menyadari kalau saya itu mencintai teman saya. Di masa
putih abu ini, saya berteman dengan banyak orang-orang luar biasa. Saya bisa
berkawan dengan orang-orang yang sangat baik, seluruhnya baik. Bahkan ia bisa
membawa saya pada perubahan yang lebih baik. Indah bukan? Tapi sayang, kita
tidak satu pemikiran. Biar begitu, teman tetaplah teman. Baru kali ini, saya
merasa dihargai sebagai seorang teman. Dicintai dengan amat sangat tulus.
Bahkan ia pun selalu mengelak bila saya mengucapkan terimakasih berkali-kali
atas perbuatannya terhadap saya. Sampai akhirnya sebuah kesedihan itu muncul
lagi. Kami dipisahkan pasca kelulusan. Ia bisa mendapatkan apa yang ia
inginkan. Sementara aku? Menikmati apa yang telah aku dapatkan, dan bersyukur
dengan hal ini. Lebih indah bukan? Masa putih abu ini, tak akan pernah terlupakan.
Termasuk kawan saya yang satu itu. Saya sadar, ada rasa cinta yang melekat
diantara kami berdua.
***
Kehidupan individualis rupanya bisa
saya rasakan. Saya jadi sadar dan merasakan arti dari pragmatis itu sendiri,
dan hal itu benar-benar terjadi! Pragmatis, mengambil manfaatnya saja, setelah
dimiliki, pastilah ditinggal pergi. Ibarat pribahasa habis manis, sepah dibuang. Ironi bukan?
Sebut sajalah di kehidupan kampus.
Saya benar-benar tertampar oleh sebuah arti kehidupan. Saya yang selalu
berusaha memberikan yang terbaik kepada seorang kawan, ternyata tidak setimpal
dengan balasan yang saya terima.
OK Fine.
Kalau mereka butuh, saya selalu ada untuk mereka. Tapi mereka? Kemana mereka
ketika saya butuh? Ini benar-benar prgamatis. Mungkin mereka akan memungkiri
hal ini, tapi ini yang saya rasakan. Setelah mereka berhasil dengan apa yang di
dapat, mereka pun akan pergi, acuh, dan tak peduli.
Baiklah, ternyata pertemanan itu tak ada
yang sempurna. Pada dasarnya manusia itu mau berteman apabila bisa
menguntungkan dirinya. Kalau sudah tak menghasilkan untung, untuk apa
dipertahankan. Jangan juga terlalu percaya kepada teman. Ternyata dalam
berteman sekalipun kita harus memakai sebuah rasa, yang bernama cinta. Supaya
tak berujung pada hati yang merana.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar