Pages

Jumat, 29 November 2013

POLEMIK PEMUDA

Kejadian ini telah berlangsung cukup lama. Sekitar dua minggu yang lalu. Segerombolan bocah STM mencegah mobil-mobil umum yang melintasi jalan lampu merah Parung. Mereka tak hanya berjumlah sepuluh, atau dua puluh orang, tapi berjumlah lebih dari itu. Sebagian ada yang menumpangai angkot menuju Cikande dan Balaraja, mereka bergelayutan seperi monyet di atas pohon. Katanya ingin ziarah. Ziarah apa kalau diawali dengan hal seprti itu? Tidak masuk akal.
Kebanyakan dari mereka pun menaiki bis menuju Cirebon, yang melewati jalur Ciruas-Tambak-Cikande-Balaraja. Mobil bis terasa sesak terlihat, belum lagi anak-anak STM itu berdiri di atas bis dengan percaya dirinya. Mereka tak sadar, jika mungkin saja malaikat maut akan hadir secara tiba-tiba.

Itulah potret anak negeri. Seharusnya mereka belajar, menjadi penerus generasi, memanfaatkan masa mudanya untuk hal yang berguna. Sebelum mereka berteman dengan penyesalan pada akhir hayatnya.[]

Sabtu, 09 November 2013

Inilah Arti Dibalik Nama Pena





Afnan Faizah. Aku resmi menjadikan nama itu sebagai nama penaku. Kelihatan sohor memang, padahal aku ini bukan siapa-siapa. Penulis pun juga bukan, tetapi aku terus mengisi kegiatan sehari-hariku dengan menulis. Menulis apa saja, intinya aku telah menulis. Menulis buku harian, menulis puisi, menulis cerpen, menulis novel pun sedang aku lakukan, meski aku sendiri tak bisa memastikan akan selesai kapan. Tapi pasti selesai kok, hanya menunggu waktu, doakan saja. ^_^
Nama Afnan Faizah aku temukan sekitar tahun 2008. Asiik ditemukan, seperti barang antik saja ya.. Hihi.. Saat itu aku sedang berkunjung dengan teman-teman MTS ke sebuah perpusatakaan daerah yang letaknya sangat jauh dari sekolahku, perlu tiga kali naik angkot untuk sampai di tempat itu. nah di tempat itulah pertama kalinya aku menemukan nama Afnan Faizah, nama yang selalu menjadi identitasku dalam media sosial. Facebook, twitter, blog juga. Bukan berarti aku tak bangga dengan nama pemberian orang tuaku, tetapi sepertinya lebih seru aja, terkesan misterius.
Aku menemukan nama itu pada sebuah buku kecil yang tergeletak begitu saja di atas meja. Aku lupa apa judul buku itu, yang jelas dalam buku itu terdapat nama-nama yang begitu indah, dan memiliki arti yang bagus. Aku melihat satu persatu nama yang ada di buku itu, sampai akhirnya mataku berhenti pada satu nama, yaitu “Afnan Faizah”. Aku melihat artinya, ternyata memiliki arti “Pohon yang Berbuah Kemenangan”. Dari situ aku mulai tergugah untuk menamai diriku dengan Afnan Faizah, dan resmi kujadikan nama pena. Aku bisa mengetahui tentang nama pena dari buku-buku terbitan DAR!MIZAN , FLP, dan masih banyak lagi. Aku kagum dengan para penulis itu, mereka memiliki nama pena, nama yang indah dan bagus. Pada intinya, aku bisa menarik kesimpulan bahwa untuk menjadi seorang penulis harus memiliki nama pena. Padahal tak semestinya begitu. Dasar saja aku yang pada saat itu masih tergolong ABABIL (ABG Labil). Hoho..
Dari tadi aku jelaskan panjang lebar tentang nama pena, tapi aku sendiri belum mempberitahu nama asliku siapa. Nama asliku Ayu Nurhidayah. Mungkin yang membaca tulisan ini akan terkekeh, tak ada hubungannya bukan nama Ayu dan Afnan? Biar sajalah, bagiku bukan perosoalan. Bagiku nama Afnan Faizah itu memiliki arti yang bagus. Aku bisa mengibaratkan diriku ini sebuah pohon. Pohon yang tinggi, tak akan bisa diinjak-injak oleh siapapun seperti rumput, selalin itu pula bisa menghasilkan sebuah kemenangan. Semoga arti nama itu bisa melekat dalam diriku. Amiin…[]

Jumat, 04 Oktober 2013

PURA-PURA TIDUR





  

Kali ini saya ingin flash back. Kisah ini terjadi tiga belas tahun yang lalu. Waw! Lama juga ya? Sadar juga deh kalau umur udah nggak muda lagi, hihihi..
Waktu itu, umur saya masih enam tahun. Hidup bahagia, benar-benar saya rasain saat masa kecil. Semuanya bisa saya miliki. Beruntunglah, saya ini nggak menyandang predikat sebagai orang yang biasa disebut dengang MKKB (Masa Kecil Kurang Bahagia). Kata-kata itu jauh-jauh deh dari hidup saya.
Waktu saya kecil, saya paling suka nginep di rumah embah. Secara saya ini adalah cucu pertama, saya ngerasa di manja banget sama embah. Baik embah laki-laki, atau embah perempuan. Tapi yang paling kerasa kasih sayangnya ya embah perempuan. Bahkan waktu itu saya pernah berharap, kalau embah perempuan itu bisa menjadi mamah saya, dan saya menjadi anaknya. Gila nggak tuh? Maklumi saja, sebuah harap bocah berumur enam tahun.
Kalau udah tinggal di rumah embah itu, segalanya jadi enak. Selalu dimanja, diturutin apa yang kita mau, dan yang paling penting bebas dari ocehan sang mamah, yang nyuruh ini itu. Jadi kuping juga nggak sakit kalau nginep di rumah embah. Bukan berarti juga nggak sayang sama mamah, tapi rasanya tetep beda aja. Pokoknya embah the best deh! Love you full untuk Embah J
Ada waktu yang saya tunggu-tunggu kalau nginep di rumah embah, yaitu kalau waktu malam mulai menyapa. Biasanya sebelum tidur, saya paling suka tuh nonton tv bareng-bareng sama embah. Nonton apa aja, yang penting bareng-bareng. Nggak hanya sama embah sih, ada bibi juga yang nemenin, bibi kembar yang paling nggak mau dipanggil bibi, katanya ketuaan, jadi lebih seneng dipanggil teteh. Ok berlanjut, tentang nonton tv. Saya ini nggak terlalu kuat kalau berhadapan di depan tv sampai berjam-jam, nggak seperti teteh, yang kuat banget nonton tv sampai larut malam. Kalau saya pasti langsung tidur tuh di sofa depan tv. Nah ini dia hal yang nggak akan pernah saya lupakan, masa-masa seperti ini, moment yang bener-bener melekat. Kalau saya udah ketiduran di sofa saat nonton tv, embah pasti berusaha membangunkan saya. Sebenarnya saya ngerasa sih dibangunin, tapi tetep aja pura-pura tidur, abis males juga udah mau merem terus malah melek lagi. Kalau saya udah dibangunin nggak bangun juga, akhirnya di gendong deh sama embah. So sweet banget kan? Semenjak saat itu saya suka berpura-pura tidur kalau nonton tv pas malam hari, supaya bisa digendong embah. Abis di gendong, embah naro saya perlahan-lahan di atas kasur yang nyaman, ngusir nyamuk dengan semprotan, setelah itu mematikan lampu kamar. Tapi saat itu otak kecil saya rupaya bermain, saya malah terbangun, ketakutan karena nggak biasa kalau tidur lampu dimatikan. Saya pun merengek untuk minta ditemani. Embah pasti nggak tega dong ngeliat cucunya dilanda ketakutan kayak gitu, sekarang giliran embah perempuan yang nemenin. Embah perempuan tidur disamping saya, mengelus-ngelus punggung saya yang sama sekali tak merasakan gatal, mengipasi saya dengan ilir (kipas dari anyaman bambu), lalu tak lupa melantunkan ayat-ayat suci al-quran, biasanya dari surat al-fatihah sampai surat at-takasur. Setelah itu saya pun terlelap diiringi lantunan ayat suci al-qur’an.
Ah, indahnya masa itu. kalau saja bisa kembali, saya akan lebih memilih menjadi anak kecil. Tapi kehidupan terus berjalan, baiknya masa lalu itu emang dijadikan sebagai pelajaran, diambil hikmahnya, untuk menjadi sebuah nilai yang berarti pada masa mendatang J.[]

 

Kamis, 03 Oktober 2013

Bahaya Laten, Kawan Pragmatis!



Teman. Siapa di dunia ini yang tak pernah berteman? Saya rasa seluruh manusia di muka bumi ini pasti pernah merasakan sebuah pertemanan. Dari yang hanya say hai, lalu jadi intens untuk bertemu, setelah itu dijadikanlah tempat untuk mengungkapkan segala curahan hatinya, barulah beranjak menjadi sebuah persahabatn, yang bercita-cita persahabatannya akan selamanya, langgeng sampai tua nanti. Hal itu berangkat dari sebuah pertemanan.
Sejak kecil, pastilah kita sudah mulai memiliki teman, saat kecil teman kita hanya terbatas, hanya anak tetangga yang biasanya diajak untuk main petak umpet, atau main karet. Beranjak masuk ke Sekolah Dasar teman mulai bertambah lagi. Saya masih ingat, saat SD dulu, saya berteman mengikuti gaya pertemanan dari sinetron yang saya saksikan di telivisi. Membuat geng; berupa sekumpulan orang yang terdiri paling sedikiit tiga orang. Yayaya, saya pernah merasakan terlibat dalam sebuah geng. Bahkan pada saat itu, saya sendiri yang menjadi ketua geng. Awalnya memang indah, kompak, keren karena bisa mengikuti tren yang ada. Tapi lama-lama saya merasa ada tingkat kejenuhan juga pada saat itu. Entah karena masalah apa, akhirnya kami pun menjauh satu sama lain. Akhirnya saya pun hanya berteman dengan satu orang saja. Itu pun teman yang benar-benar nyaman bagi saya. Selang beberapa hari, kami pun mencoba berbaikan lagi. Tapi beberapa minggu kemudian kami berjauhan lagi, kalau bertemu hanya memasang wajah sinis. Fase itu terus saja terjadi secara berulang-ulang, sampai akhirnya kami pun tamat dari bangku Sekolah Dasar. Lalu setelah lulus? Kami berpisah, tidak pernah bercengkrama seperti saat SD lagi. Permusuhuan yang timbul pun jadi tidak ada, karena memang pertemuan kita yang tidak intens. Lama kelamaan, akhirnya kami pun saling sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sampai akhirnya bila bertemu, kami ibarat orang asing.
Setelah SD, saya melanjutkan lagi tentunya ke pendidikan yang lebih tinggi dari SD, yaitu SMP. Tapi saat itu saya tak diperkenankan untuk mengeyam bangku SMP, hanya diperbolehkan untuk merasakan bangku MTS, memang sederajat dengan SMP. Tapi bagi saya, yang saat itu sedang mengalami masa-masa labil tetap saja berbeda. MTS itu tak asik, kuno, dan nggak modern di mata saya saat itu.
Sama seperti ketika di SD, di MTS pun saya menemukan seorang teman. Teman yang bermula dari ketidaksengajaan, lalu berjabat tangan. Sampai lambat laun kami pun menjadi akrab. Ada yang berbeda dengan perasaan saya saat itu, karena saya rasa teman yang saya miliki saat itu adalah teman yang berbeda dari teman-teman yang pernah saya kenal sebelumnya. Kami memiliki banyak kesamaan, pokoknya klop deh! Kami duduk sebangku, pernah saling berkunjung ke rumah, memberikan hadiah sebagi simbol persahabatan. Tapi lagi-lagi saya menemukan titik kejenuhan. Saya pernah tidak berkomunikasi dengannya selama satu minggu. Karena saya seperti dimanfaatkan, dan dalam dirinya seperti ada yang ditutup-tutupi, seolah-olah ia secara perlahan-lahan sedang membohongi diri ini. Saya hanya tak percaya saja dengan cerita-ceritanya yang selalu bahagia, mendapatkan apa yang dia mau. Masa iya ada manusia seperti itu? Saya fikir itu hanya karangannya saja. Mungkin itu hanya pikiran kotor saya saja kali, yang saat itu masih terbilang labil, jadi belum bisa berfikir secara sempurna. Saya pun menyadari, hari-hari di sekolah dengan kesendirian itu ternyata tak asik. Saya pun kembali berteman baik dengannya, meski kadang-kadang masih suka menyimpan rasa sebal. Tapi perasaan itu selalu saya urungkan untuk diucapkan. Bisa-bisa semuanya jadi berantakan.
Tiga tahun kami bersama, sampai kahirnya pelepasan itu terjadi. Kami berpisah, tidak bisa bertemu setiap hari lagi. Awalnya komunikasi berlangsung dengan baik, tapi lama kelamaan, kami pun tenggelam dalam rutinitas yang kami lakoni.
Ini dia masa-masa dimana saya bisa menemukan arti teman yang sesungguhnya. Teman yang benar-benar melekat dalam diri saya. Bahkan saya menyadari kalau saya itu mencintai teman saya. Di masa putih abu ini, saya berteman dengan banyak orang-orang luar biasa. Saya bisa berkawan dengan orang-orang yang sangat baik, seluruhnya baik. Bahkan ia bisa membawa saya pada perubahan yang lebih baik. Indah bukan? Tapi sayang, kita tidak satu pemikiran. Biar begitu, teman tetaplah teman. Baru kali ini, saya merasa dihargai sebagai seorang teman. Dicintai dengan amat sangat tulus. Bahkan ia pun selalu mengelak bila saya mengucapkan terimakasih berkali-kali atas perbuatannya terhadap saya. Sampai akhirnya sebuah kesedihan itu muncul lagi. Kami dipisahkan pasca kelulusan. Ia bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Sementara aku? Menikmati apa yang telah aku dapatkan, dan bersyukur dengan hal ini. Lebih indah bukan? Masa putih abu ini, tak akan pernah terlupakan. Termasuk kawan saya yang satu itu. Saya sadar, ada rasa cinta yang melekat diantara kami berdua.
***
Kehidupan individualis rupanya bisa saya rasakan. Saya jadi sadar dan merasakan arti dari pragmatis itu sendiri, dan hal itu benar-benar terjadi! Pragmatis, mengambil manfaatnya saja, setelah dimiliki, pastilah ditinggal pergi. Ibarat pribahasa habis manis, sepah dibuang. Ironi bukan?
Sebut sajalah di kehidupan kampus. Saya benar-benar tertampar oleh sebuah arti kehidupan. Saya yang selalu berusaha memberikan yang terbaik kepada seorang kawan, ternyata tidak setimpal dengan balasan yang saya terima.
OK Fine. Kalau mereka butuh, saya selalu ada untuk mereka. Tapi mereka? Kemana mereka ketika saya butuh? Ini benar-benar prgamatis. Mungkin mereka akan memungkiri hal ini, tapi ini yang saya rasakan. Setelah mereka berhasil dengan apa yang di dapat, mereka pun akan pergi, acuh, dan tak peduli.
Baiklah, ternyata pertemanan itu tak ada yang sempurna. Pada dasarnya manusia itu mau berteman apabila bisa menguntungkan dirinya. Kalau sudah tak menghasilkan untung, untuk apa dipertahankan. Jangan juga terlalu percaya kepada teman. Ternyata dalam berteman sekalipun kita harus memakai sebuah rasa, yang bernama cinta. Supaya tak berujung pada hati yang merana.[]

Minggu, 09 Juni 2013

Pengalaman Baru



Pengalaman Baru

Dag-Dig-Dug.. jantungku berdebar-debar seperti itu. Seperti mau lompat dan hendak keluar. Yaya, Aku paham, ini sudah menjadi keputusan. Keputusan yang telah Aku fikirkan dengan matang-matang.
Beberapa bulan yang lalu, tepatnya awal Februari , sebuah langkah baru kumulai. Niatnya sih Cuma untuk mengisi liburan saja, tapi kok kanyanya lebih baik dijadikan aktivitas saja yaaa…
Simak Kisahnya… :)
***
Siang itu, matahari sangat terik sekali. Aku yang berada di dalam rumah saja sudah ampun deh kepanasan. Gimana kalau Aku yang berada di luar, haduuhh nggak tau deh kaya apa jadinya. Jadi males banget buat keluar, padahal siang itu Aku sudah janji dengan adikku untuk berkunjung ke TPA tempat dia belajar. Niatnya sih mau ngelamar jadi guru disitu, siapa tau dapet.. Itung-itung latihanlah buat jadi calon guru.. hehehe.. Aku ini kan kuliah di pendidikan, masa ia nggak memulai aktivitas menjadi guru dari sekarang? Apa kata orang-orang nanti? Iya nggak? Hoho…
So, panas yang nyangat itu bukan jadi halangan buatku. Aku tetap berangkat dengan sang adik. Kami sama-sama mengayuh sepeda, menuju TPA yang nggak terlalu jauh dari rumah, paling Cuma memakan waktu tiga menit aja kok. Sempet ngerasa canggung sih, tapi bisa secepatnya diatasin kok. Ini kan sebuah niat baik, kenapa juga mesti takut?
 Setelah sampai, Aku langsung diantar oleh adikku ke rumah pemilik TPA. Rumah yang tidak terlalu besar, dan sederhana. Lalu Aku pun sempat melihat TPAnya hanya terdapat empat kelas. Banyak anak-anak rame sekali.
Tanpa basa-basi lagi Aku melangkah ke dalam rumah, tentunya ditemani oleh adikku. Karena di yang lebih kenal. Aku hanya diam, menunggu adikku saja yang bertindak. Adikku memanggil-manggil “Umi.. Umi… Umi…” kurang lebih seperti itu. Tidak da jawaban, Aku bantu adikki, tapi Aku mengucapkan salam.
Akhirnya ada juga yang keluar, dari sebuah ruangan kecil, buka dari dalam rumah. Dan… Aku pun berbisik-bisik dengan adikku.
“Itu siapa? Yang punya TPA ini?”
“Bukan Teteh.. Itu namanya Umi Reni. Umi yang ngajar di kelas Amin.”
Selepas itu Aku hanya menggut-manggut saja.
Lalu perempuan yang biasa dipanggil Umi Reni itu, menatapku penuh Tanya. Sedangkan Amin hanya diam saja, tidak menyapa, dan tidak menjelaskan apa-apa.
Tidak ada yang bicara, Umi Reni pun yang mendahului.
“Ada apa ya?” ia bertanya, dengan ramah dibarengi dengan sebuah senyuman yang menghiasi wajahnya.
Aku menghela nafas, lalu menjawab dan mencoba menyusn kata-kataku itu dengan rapih.
“Begini Umi, Saya Tetehnya Amin mau ngajar disini. Kira-kira bisa nggak ya?”
“Oh begitu yaa.. Sayang banget, Umi Ais (kepala sekolah) sedang ada di Pandeglang. Besok Kamu kesini lagi aja ya. Saya nggak punya kebijakan apa-apa untuk memutuskan. Bagaimana?”
“Yausudah nggak apa-apa Mi. kalau begitu Sayaminta no Umi Reni ya, biar kalau udah dating tinggal sms gitu Mi.”
“Oh yasudah boleh..”
Kami pun saling menyebutkan nomor hp, setelah itu besalaman, dan Aku langsung pulang. Sedangkan adikku langsung menuju kelas, untuk sekolah agama.
***
 Setelah menunggu beberapa hari, Aku telah mendapatkan info terbaru. Setelah Aku menghubungi Umi Reni via sms, ternyata Umi Ais sudah ada di rumah. Baru saja sampai katanya. Tapi, Aku disuruh kesana agak sorean saja. Baiklah, pikirku, daripada siang hari, yang sangat terik dan menyengat. Lebih baik sore hari saja, dengan nuansa senja yang elok.
Siang sudah berlalu, dan sore telah datang. Aku bergegas menuju TPA, tapi kali ini sendiri, tidak ditemani adikku lagi.
Singkat cerita, sekarang Aku sudah berada di rumah yang beberapa hari Aku kunjungi dengan adikku. Terlihat sepi, tapi Aku coba saja, Aku ucapkan salam. Baru satu kali Aku mengucapkan salam, sosok perempuan keluar. Berbeda dengan yang kemarin, ia keluar dari rumahnya. Mungkin ini kepala sekolahnya, karena sebelumnya Aku belum pernah bertatap muka.
Aku bersalaman, dan menjelaskan maksud kedatanganku kemari.
“Begini Mi, saya Tetehnya Amin. Mau mengajar disini, kira-kira gimana ya Mi? bisa atau nggak?”
Umi hanya tersenyum, lalu ia pun bicara.
“Kalau Umi sih nggak apa-apa. Asalkan jangan mengharapkan bayaran yang lebih, karena Kamu tahu sendiri kan kalau untuk yayasan agama itu bayarannya nggak seberapa. Yah, itung-itung Kamu latihan mengajar. Supaya bisa tahu dari sekarang, kalau menajdi guru itu sebenarnya bukan hal yang mudah. Butuh kesabaran tingkat tinggi. Kamu mengerti kan maksud Umi?”
“Oh iya Mi, tentu saja. Memang niatnya mau belajar mengajar kok, jadi ketika nanti menajdi guru sudah terbiasa.”
“Yasudah kalau begitu besok Kamu kesini saja lagi ya. Umi tempatkan Kamu menagajar di kelas sore hari. Nggak keberatan kan?”
“Iya nggak apa-apa kok Mi.. Tapi Saya harus apa? Itu kan hal yang pertama Mi.”
“Justru itu, besok Kamu datang. Melihat saja dulu, anak Umi yang mengajar. Minimalnya bisa untuk memimpin anak-anak untuk berdoa.”
“Baik Mi, besok sore Saya kesini deh.. Terimaksaih ya Mi atas kesempatannya.”
Aku melangkah, setelah berpamitan dengan Umi. Pulang, mengayuh sepeda sambil tersenyum. Membayangkan, apa yang akan terjadi esok hari.
***
Sekarang, Aku berada di depan komplotan anak-anak. Mereka berjumlah sepuluh orang, mereka muridku yang pertama. Aku belum terlalu mengenal mereka, tapi dari rona wajah mereka sepertinya mereka menyukaiku… Aku memulai, dengan kakau. Ini pengalaman pertamaku, perngalaman pertama mengajar. []