Dalam
catatan sejarah, Indonesia telah sebelas kali melaksanakan pemilu. Rezim pun
telah berganti, dari masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi yang masih
dipertahankan sampai saat ini. Selama pergantian rezim, serta pemimpin
nampaknya Indonesia tidak menunjukan perubahan yang semakin membaik. Justru
yang terjadi, semuanya malah menjadi terpuruk dan tentu jauh dari kata
sejahtera. Padahal rezim telah runtuh dari satu rezim ke rezim yang lain, dan
semuanya itu menuntut hal yang sama; yakni perubahan.
Pemilu
yang telah dilangsungkan beberapa minggu lalu, seolah menjadi kepercayaan bahwa
Indonesia akan lebih baik untuk lima tahun ke depan; khususnya. Masih banyak
masyarakat yang masih percaya, bahwa dengan jalan pemilu lah Indonesia masih
bisa selamat. Memang pemilu merupakan salah satu uslub (cara) yang boleh ditempuh dalam memilih seorang pemimpin.
Akan tetapi, pemilu ini hanya dijadikan satu-satunya cara untuk pemerolehan
kekuasaan.
Telah
kita ketahui, bahkan telah menjadi rahasia umum. Bahwa calon legislatif telah
banyak yang menjadi gila karena tidak terpilihnya untuk menduduki kursi
legislatif. Tak sedikit juga para calon yang awalnya berniat tulus memberikan
bantuan kepada masyarakat, tapi karena tidak terpilih orang tersebut menarik
kembali pemberiannya. Tidak sedikit pula masyarakat yang buta akan hal ini.
Akan tetapi semuanya sangat disayangkan, karena dengan fakta yang ada
masyarakat masih mempercayai pemilu dalam sistem demokrasi seperti sekarang.
Saatnya Perubahan Hakiki: Bukan
Orang, Bukan Rezim
Rezim
telah berganti, rakyat selalu menuntut perubahan seiring bergantinya rezim.
Orde Lama berganti menjadi Orde Baru, lagu berganti lagi menjadi Reformasi.
Semua itu telah terjadi melalu proses yang panjang. Hanya saja sangat
disayangkan, dengan proses yang panjang tersebut Indonesia bukan semakin maju
tetapi malah semakin mundur. Belum lagi, pergantian orang yang setiap lima
tahunnya terjadi. Menetapkan aturan yang tidak pro terhadap rakyat, melainkan
pro terhadap dirinya sendiri (penguasa) dan pengusaha. Tidak dipungkiri, carut
marut dan kebobrokan terlihat dari segala aspek.
Diantaranya
adalah pada tahun 1967 DPR mengeluarkan UU PMA (Undang-undang Penanaman Modal
Asing) bagi masuknya Freeport. DPR Pasca Reformasi pun menyempurnakan
penguasaan asing di Indonesia melalui UU Penanaman Modal, UU Perbankan, UU
Minerba, UU Migas, UU Sumber Daya Air, dll. Gunung emas yang terdapat di Papua,
bukanlah lagi menjadi gunung semenjak dikelola oleh PT.Freeport, yang terjadi
gunung tersebut berubah menjadi lembah yang amat dalam jika dilihat dari tampak
atas. Lalu dari produksi minyak di Indonesia 90% nya dikuasai oleh asing, yakni
Total (30%), Exxon Mobil (17%), Vico (BP-Eni Joint Venture, 11%), Conoco
Phillips (11%), BP (6%), dan Chevron (4%) (sumber: Kementrian ESDM, 2008).
Selanjutnya kasus yang tak pernah luput dari berita di televis adalah tentang
nasib para TKW yang mengadu nasib di negeri orang. Ada yang sampai ingin di hukum
mati, tapi kebanyakan dari penguasa hanya melakukan solusi secara parsial
(sebagian). Belum lagi kemiskinan yang sangat kental di Indonesia, kemiskinan
menjadi salah satu komponen yang sangat sulit terputus untuk kemajuan
Indonesia. Menurut (Media Indonesia,
2006) 100 juta (50%) penduduk Indonesia
hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut (BPS, 2009) angka pengangguran
bertambah menjadi 113, 74 juta orang. Fakta tersebut telah diteliti beberapa
tahun yang lalu. Bisa jadi untuk tahun sekarang angka-angka tersebut akan naik drastis.
Karena sudah banyaknya totonan tentang keterpurukan rakyat yang ditayangkan di televisi.
Tidak pernah ada celah sedikitpun, seseorang bisa aman dan nyaman untuk tinggal
di negara ini.
Demokrasi
merupakan sumber masalah dari semua ini. Demokrasi jelas telah menghasilkan
orang dan rezim yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Demokrasi melahirkan
orang-orang yang tidak memiliki hati nurani, pragmatis, dan ingin selalu
untung. Indonesia memang telah berganti orang dan rezim sacara berulang-ulang.
Akan tetapi sekali lagi, semua itu tidak menjadikan Indonesia semakin maju. Harusnya
ada perubahan mendasar atas semua problematika yang terjadi pada negara ini.
Perubahan solutif yang dapat mengentas segala keterpurukan yang terjadi.
Perubahan yang bukan dari pergantian orang dan rezim. Memang, masih banyak
orang baik di Indonesia ini, bahkan sangat banyak. Tapi dari kejadian-kejadian
yang pernah terjadi, orang-orang baik tersebut tidak mampu untuk mewarnai. Yang
ada mereka malah ikut terwarnai, dan ikut-ikutan menjadi tidak baik. Lantas,
perubahan apa yang harusnya diusung sampai di terapkan oleh negara ini?
Perubahan secara mendasar dan revolisioner, yakni merubah sistem demokrasi
mengganti sistem islam. Seseorang yang mengaku bahwa dirinya adalah sebagai
hamba Allah, harusnya berpikir bahwa hidupnya pun harus diatur sesuai dengan
aturan-aturan yang telah diciptakan oleh-Nya. Bukan hanya pada aspek-aspek
ibadah mahdah; seperti shalat, zakat,
puasa, naik haji, dll. Melainkan mau diatur dengan aturan Allah pada bidang
politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, kesehatan, dll.
Allah
SWT telah berfirman: “Dan barang siapa
berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.” (TQS. Thaha [20]: 124).
Imam Ibn Katsir menjelaskan: “Allah SWT
berfirman, ‘Dan barang siapa yang
berpaling dari peringatanku’ yakni menyalahi perintah (ketetapan)-Ku dan
apa yang Aku turunkan kepada Rasulku, berpaling darinya dan melupakannya serta
mengambil yang lain sebagai
petunjuknyaa ‘maka baginya
kehidupan yang sempit’ yakni dunia”.
Saatnya
perubahan sistem diwujudkan. Semua itu bisa diwujudkan melalui perjuangan
dakwah, yang sesuai dengan thariqah
(metode) dakwah Rasulullah saw. Inilah jalan yang haq, yang dijamin akan menghasilkan kemenangan hakiki dan tegaknya al-haq, yaitu penerapan syariah secara
kaffah dalam naungan khilafah. “Dan bahwa
ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari
jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (TQS.
Al-An’am [6]: 153).
*Oleh Afnan Faizah
Mahasiswi semester.4 Pend. Bahasa
dan Sastra Indonesia UNTIRTA.
Aktivis MHTI Chapter Kampus Kota Serang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar