Pages

Sabtu, 03 Mei 2014

RENUNGAN UNTUK KITA: SEBUAH REFLEKSI DARI NASKAH DRAMA MALAM JAHANAM KARYA MOTINGGO BOESJE*



Naskah drama yang sebenarnya memiliki cerita hampir sama dengan Sayang Ada Orang Lain. Menceritakan masalah yang terjadi di dalam biduk rumah tangga. Konflik yang terjadi di dalam cerita Malam Jahanam dan Sayang Ada Orang Lain, hampir serupa, yaitu dengan hadirnya orang ketiga. Meski dalam cerita Malam Jahanam orang ketiga lebih jelas. Permasalahan biduk rumah tangga yang terlalu rumit dalam kisah ini. Hadirnya orang ketiga, sedangkan orang ketiga tersebut adalah sahabat dari suami itu sendiri. Belum lagi Paijah (istri) yang selalu merasa terbebani dengan sifat suaminya, karena sang suami lebih mencintai burung peliharaannya daripada mencintai istri dan anaknya sendiri. Wajarlah bila sosok Soleman (orang ketiga) bisa mengisi hati Paijah. Lebih parahnya, pasti kisah ini tidak hanya terjadi di dalam sebuah cerita. Melainkan terjadi di dunia nyata, sejak dulu sampai sekarang.

Setelah Membaca Naskah Malam Jahanam
Awal membaca kisah ini sebenarnya saya tidak mengerti cerita ini berkisahkan tentang apa. Sampai harus membaca dua kali, barulah saya mengerti apa yang ada dalam cerita ini. Rupanya, tentang perselingkuhan. Lantas, saya juga bertanya-tanya, mengapa harus diberi judul Malam Jahanam? Rupanya, ada tragedi malam hari yang sangat tak bisa termaafkan. Hanya karena seekor burung, Mat Kontan dan Soleman bisa ingin saling membunuh. Lalu, yang menjadi korban bukanlah diantara keduanya, melainkan Utai. Belum lagi, kasus perselingkuhan antara Paijah dan Soleman yang terkuak, yang mencuat dari pengakuan Soleman sendiri. Disebabkan anak yang ada bersama Paijah itu adalah anak kandung dari  Soleman, bukanlah anak dari Mat Kontan. Belum lagi Soleman memiliki masa lalu yang kelam. Ketika ayahnya ditembak mati lantaran selingkuh dengan istri polisi, ibunya pun juga tukang selingkuh. Baginya, sifat ayahnya itu adalah jahanam, dan ia pun menamai sifat yang melekat pada dirinya adalah jahanam. Alhasil, dirinya pun tak ingin memiliki istri karena takut kelakuannya akan sama seperti ibunya. Pertengkaran yang terjadi antara Mat Kontan dengan Soleman memang berawal dengan sengit, saling mencaci dan mengeluarkan kata-kata tak sopan. Namun, Mat Kontan memiliki hutang jasa kepada Soleman. Sebab Soleman lah yang menolongnya dari tragedi pasir hidup yang dahulu sempat akan merenggut nyawanya. Setiap kali, Mat Kontan diperdengarkan oleh Soleman mengenai masa lalunya itu, ia merasa tak kuasa dan seketika lemah.
Membaca naskah ini adalah hal yang ironi bagi saya. Rupanya kasus-kasus seperti ini tidak hanya terjadi di zaman sekarang, melainkan sejak dahulu. Tentu sajalah, ada sebuah cerita pasti karena ada kisah nyata yang terjadi. Saya tak pernah habis pikir saja, mengapa kisah seperti ini terus-menerus terjadi. Inilah degradasi moral yang terjadi pada masyarakat. Buah dari paham sekularisme; paham yang memisahkan kehidupan dan agama. Padahal, kalau seseorang sudah menanamkan agama pada dirinya, keluarga, masyarakat, dan negara, kisah-kisah seperti ini tidak perlu ada lagi. setidaknya hanya bisa dijadikan sebagai pelajaran atau arsip. Tidak lagi-lagi harus terulang. Kisah sama, dengan zaman dan pelaku yang berbeda. Sekali lagi, ini adalah hal yang ironi bagi saya.

Renungan Untuk Kita, Jadikan Refleksi
Merenung, adalah hal yang pantas untuk kita lakukan setelah membaca naskah drama ini. Setidaknya, kita bisa menggali apa yang mendasari mengapa cerita tersebut bisa sampai dibuat menjadi teks drama. Telah saya katakan di awal tadi, bahwasannya sebuah kisah pasti bisa terjadi karena sebelumnya pernah terjadi dalam kenyataan.
Lantas, apa yang seharusnya direnungkan? Biduk rumah tangga antara Mat Kontan dan Paijah yang semestinya layak untuk kita renungkan. Betapa tidak, membaca naskah ini merupakan suatu pelajaran berharga. Sebagai kaum pemikir, dan intelektual seharusnya kita jangan hanya menjadikan kisah tersebut hanya untuk dinikmati, melainkan juga untuk direnungkan.  Karena jika kisah-kisah yang dibaca hanya untuk direungkan, untuk apa pula kita memiliki otak dan akal. Sama saja kita tidak memfungsikan otak dan akal yang kita miliki, untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Dijelaskan dalam naskah bahwa Mat Kontan adalah pencinta burung, bahkan lebih mencintai burung daripada mencintai istri dan anaknya. Sehingga timbulah ketidaknyamanan bagi si istri karena menerima perlakuan suami yang demikian. Selain itu, Mat Kontan yang sering meninggalkan istrinya sendirian di rumah, sehingga jelas saja terjadi peluang untuk berselingkuh. Apalagi, menurut keterangan pada naskah drama, Mat Kontan adalah seseorang yang sebenarnya tidak bisa memiliki keturunan (mandul).
Semua itu terjadi karena tertanamnya nilai-nilai sekuler pada diri manusia. Maka dari itu, janganlah sampai kita bersikap demikian. Singkirkan nilai-nilai sekuler itu dari dalam diri kita. Semua itu bisa ditempuh dengan terus mengkaji islam, supaya kita sebagai calon ayah dan ibu bisa memahami bagaimana kewajiban dan hak seorang istri, atau pun suami. Saya yakin, jika setiap orang sudah mengjaki secara terus-menerus, tentulah kisah-kisah perselingkuhan tidak akan terjadi lagi.[]

*Oleh: Afnan Faizah
Sebagai tugas mata kuliah Apresiasi Drama
Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia UNTIRTA

Tidak ada komentar: